pengelolaan ekosistem mangrove

PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE

Ekosistem mangrove sangat penting artinya dalam pengelolaan sumberdaya pesisir terutama pulau-pulau kecil. Mangrove berperan sebagai filter untuk mengurangi efek yang merugikan dan perubahan lingkungan utama dan sebagai sumber makanan bagi biota laut (pantai) dan biota baru. Selain itu, ekosistem ini juga berfungsi dalam mengolah limbah melalui penyerapan kelebihan nitrat dan phospat sehingga dapat mencegah pencemaran dan kontaminasi di perairan sekitarnya.
Mangrove atau mangal adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin (Nybakken, 1988). Mangrove adalah salah satu di antara sedikitnya tumbuh-tumbuhan tanah timbul yang tahan terhadap salinitas laut terbuka (Odum, 1993). Walaupun tidak sama dengan istilah mangrove banyak orang atau penduduk awam menyebut mangrove
Cakupan sumberdaya mangrove secara keseluruhan menurut Kusmana (2005) terdiri atas:
1.    satu atau lebih spesies tumbuhan yang hidupnya terbatas di habitat mangrove,
2.    spesies-spesies tumbuhan yang hidupnya di habitat mangrove, namun juga dapat hidup di habitat non-mangrove
3.    biota yang berasosiasi dengan mangrove (biota darat dan laut, lumut kerak, cendawan, ganggang, bakteri dan lain-lain) baik yang hidupnya menetap, sementara, sekali-kali, biasa ditemukan kebetulan maupun khusus hidup di habitat mangrove,
4.    proses-proses alamiah yang berperan dalam mempertahankan ekosistem ini baik yang berada di daerah bervegetasi maupun diluarnya, dan
5.    daratan terbuka/hamparan lumpur yang berada antara batas hutan sebenarnya dengan laut.
Ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam daerah tropika yang mempunyai manfaat ganda baik aspek ekologi maupun sosial ekonomi. Besarnya peranan ekosistem mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan, baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun di tajuk-tajuk pohon mangrove serta ketergantungan manusia terhadap ekosistem mangrove tersebut.
Bengen (2000) menyatakan bahwa ekosistem mangrove memiliki fungsi antara lain :
1.    sebagai pelindung pantai dari gempuran ombak, arus dan angin,
2.    sebagai tempat berlindung, berpijah atau berkembang biak dan daerah asuhan berbagai jenis biota
3.    sebagai penghasil bahan organik yang sangat produktif (detritus),
4.    sebagai sumber bahan baku industri bahan bakar,
5.    pemasok larva ikan, udang dan biota laut lainnya,
6.    tempat pariwisata.
Secara fisik ekosistem mangrove dapat berfungsi sebagai hutan lindung yang mempengaruhi pengaliran massa air di dalam tanah. Sistem perakaran yang khas pada tumbuhan mangrove dapat menghambat arus air dan ombak, sehingga menjaga garis pantai tetap stabil dan terhindar dari pengikisan (abrasi). Keadaan ekosistem rnangrove yang relatif lebih tenang dan terlindung dan sangat subur juga aman bagi biota laut pada umumnya.
Fungsi lain yang penting adalah sebagai penghasil bahan organik yang merupakan mata rantai utama dalam jaringan makanan ekosistem mangrove. Daun mangrove yang gugur melalui proses penguraian oleh mikro organisme diuraikan menjadi partikel-partikel detritus. Detritus kemudian menjadi bahan makanan bagi hewan pemakan detritus seperti: cacing, mysidaceae (udang-udang kecil/ rebon). Selanjutnya hewan pemakan detritus menjadi makanan larva ikan, udang dan hewan lainnya. Pada tingkat berikutnya hewanhewan tersebut menjadi makanan bagi hewan-hewan lainnya yang lebih besar dan begitu seterusnya untuk menghasilkan ikan, udang dan berbagai jenis bahan makanan lainnya yang berguna bagi kepentingan manusia.
Salah satu kerusakan hutan mangrove disebabkan oleh pertumbuhan penduduk dan urbanisasi karena mereka membuang limbah di sekitar perairan ekosistem hutan mangrove yang tidak jauh dari kota, oleh karena itu diperlukan suatu pengelolaan dalam membuang limbah yang tidak merusak ekosistem mangrove (Lazardi, et al., 2000).
Pemanfaatan sumberdaya ekosistem mangrove secara ideal seharusnya mempertimbangkan kebutuhan masyarakat narnun tidak menganggu keberadaan dari sumberdaya tersebut. Dalam upaya ini Departemen Kehutanan telah memperkenalkan suatu pola pemanfaatan yang disebut "silvofishery" dengan bentuk tumpangsari. Pola ini adalah kombinasi antara tambak/empang dengan tanaman mangrove. Pola ini dianggap paling cocok untuk pemanfaatan ekosistem mangrove saat ini. Dengan pola ini diharapkan kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan sedangkan ekosistem mangrove masih tetap terjamin kelestariannya (Departemen Kehutanan, 1993)
Dasar pemikiran penetapan kebijakan pengelolaan mangrove adalah ekosistem mangrove yang berfungsi sebagai sumber plasma nutfah, tempat pemijahan, pengasuhan dan tempat larva biota perairan serta sekaligus juga berfungsi untuk melindungi kawasan pesisir dari kerusakan dan pencemaran, telah mengalami tekanan yang luar biasa sehingga mengalami degradasi yang sistematis; bahwa diperlukan langkah lanjut dan upaya pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan untuk menjamin kelestarian ekosistem mangrove guna mendukung pelestarian lingkungan pesisir, kegiatan perikanan yang berkelanjutan, perlindungan pantai, wisata bahari, dan keperluan ekonomi lainnya.
A.   Peraturan Mengenai Pengelolaan Hutan Mangrove
Ada banyak peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan pantai, diantaranya adalah :
1.    UUD 1945 Pasal 33 ayat 3
2.    UU No.5 Tahun 1960 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria
3.    UU No.5 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan
4.    UU No.11 Tahun 1974 Tentang Perairan
5.    UU No.9 Tahun 1985 Tentang Perikanan
6.    UU No.5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
7.    UU No.9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan
8.    UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
9.    UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
10.  UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air
11.  UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
12.  U No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
13.  UU No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
14.  UU No 27 Tahun 2007 Tentang Pesisir dan kelautan
B.   Penegakan Hukum
Salah satu hal yang sangat penting dalam pengelolaan pantai adalah penegakkan hokum (law enforcement). Peraturan-perundangan telah banyak diterbitkan. Tujuannya agar pengelolaan pantai dapat dilakukan secara terpadu. Namun pada implementasi, sering peraturan dilanggar. Pelanggaran tidak diikuti dengan sanksi maupun hukuman yang tegas, walaupun sudah dinyatakan eksplisit dalam aturan. Pengawasan oleh pihak berwenang (lebih dominan dari Pemerintah) tidak dilakukan.
Penegakan hukum perlu terus dilakukan dengan berbagai cara dan upaya. Cara–cara dan upaya antara lain dapat berupa:
1.    Sosialisasi peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan pantai kepada semua stakeholders.
2.    Substansi tentang aturan dan sanksinya perlu disosialisasikan lebih detail. Misalnya dengan cara pemasangan papan aturan dan sanksi di tempat-tempat strategis.
3.    Perlu shock therapy yaitu dengan misalnya menerapkan sanksi, denda, atau hukuman maksimal dari aturan yang ada. Hal ini dimaksudkan agar stakeholders menjadi jera dan mau mentaati aturan yang berlaku.
4.    Perlu lembaga pengawasan yang melekat pada instansi. Lembaga ini berfungsi mengawasi pengelolaan pantai baik internal maupun eksternal.
5.    Karena isu-isu yang kompleks tersebut maka diperlukan kolaborasi yang baik antara institusi penentu kuantitas dan kualitas air dengan institusi penegakan hukum.
6.    Implementasi penegakan hukum dilakukan dengan cara bertahap
Dalam rangka pelaksanaan dan pengawasan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut agar benar-benar terlaksana sebagai wujud law enforcement, bisa dilakukan modifikasi disesuaikan dengan kondisi dan potensi daerah, misalnya :
1.    Identifikasi hukum adat serta revitalisasi lembaga adat (Nagari) dan lokal yang berpartisipasi aktif dalam pengelolaan sumberdaya pesisir.
2.    Peningkatan kesadaran, kemampuan, dan kepedulian masyarakat pesisir terhadap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan produk hukum pengelolaan pesisir.
3.    Peningkatan pengawasan, pengamanan dan penegakan hukum di pesisir
C.   Finansial
Dalam konsep dasar penilaian ekonomi (economic valuation) sumberdaya alam, nilai sumberdaya mangrove ditentukan oleh fungsi dari sumberdaya itu sendiri. Menurut Bann (1998), fungsi ekologi sumberdaya mangrove antara lain sebagai : stabilitas garis pantai, menahan habitat keanekaragaman, sedimen, perlindungan dan produktifitas biomassa, sumber plasma nutfah, rekreasi atau wisata, memancing dan produk-produk hutan. Nilai ekonomi atau total nilai ekonomi hutan mangrove secara garis besar dapat dikelompokan menjadi dua yaitu nilai penggunaan (use value) dan nilai intrinsik (non-use value) selanjutnya dapat diuraikan bahwa nilai penggunaan (use value) dapat dibagi lagi menjadi nilai penggunaan langsung (direct use), nilai penggunaan tidak langsung (indirect use) dan nilai pilihan (option value).
1.    Pengembalian Biaya dan Kebijakan Denda
Teknik penilaian manfaat, didasarkan pada kesediaan konsumen membayar perbaikan atau kesediaan menerima kompensasi dengan adanya kemunduran kualitas lingkungan dalam sistem alami serta kualitas lingkungan sekitar. Manfaat dari suatu barang atau jasa mempunyai nilai yang sama dengan kesediaan penduduk untuk membayarnya (willingness to pay (WTP)). Untuk menilai lingkungan harus dilihat fungsi kerusakan marginal yang menunjukan perubahan lingkungan. Pemikiran harus dalam kerangka yang luas karena diadakan perubahan lingkungan hutan mangrove akan banyak dampaknya terhadap masyarakat sekitar, baik dampak fisik, dampak degradasi lingkungan, kualitas estetika.
Apabila ingin dilihat WTP (willingness to pay) dari masyarakat maka akan dapat digambarkannya dalam kurva permintaan (demand) gabungan antara beberapa permintaan merupakan total WTP.
2.    Penilaian Investasi
Pemanfaatan hutan mangrove yang berlebihan seperti untuk pembuatan bahan pengawet jaring dan untuk keperluan lainnya oleh nelayan secara berlebihan dan tidak teratur serta pengambilan oleh masyarakat tertentu untuk dijual yang dilakukan secara berlebihan, telah berdampak pada kondisi hutan mangrove yang semakin menurun kualitasnya dan mengecil arealnya (rusak) yang berdampak menurunnya kualitas sumberdaya pesisir secara umum termasuk habitatnya.
D.   Peran Institusi dan Pelaku dalam Pengelolaan Mangrove
Otonomi pengelolaan Kawasan Pantai dan sumber daya alam yang membawa konsekuensi penyerahan seluruh tanggung jawab kepada Pemerintah Kabupaten/Kota termasuk pendanaan, personalia, kelembagaan, peraturan daerah dan prioritas kegiatan sesuai dengan kondisi lokal akan menjadi basis dalam pengelolaan Kawasan Pantai dan sumber daya alam.
Penerapan Prinsip Keterpaduan Dalam Pengelolaan :
a.    Keterpaduan antar sektor;
b.    Keterpaduan antar level pemerintahan;
c.    Keterpaduan ekosistem darat dan laut;
d.    Keterpaduan sains dan manajemen;
e.    Keterpaduan antar daerah/ negara.
1.    Peran Pemerintah Pusat
Kewenangan Pemerintah mencakup kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain. Dalam hal ini Kewenangan bidang lain yang dimaksud, meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional, dan pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standardisasi nasional.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 25 Tahun 2000 Bab II, Pasal 2 point 13 Bidang Penataan Ruang diketahui :
a.    Penetapan tata ruang nasional berdasarkan tata ruang Kabupaten/Kota dan Propinsi.
b.    Penetapan kriteria penataan perwilayahan ekosistem daerah tangkapan air pada daerah aliran sungai.
c.    Pengaturan tata ruang perairan di luar 12 (dua belas) mil.
d.    Fasilitasi kerjasama penataan ruang lintas Propinsi.
Kewenangan menteri dalam pengelolaan wilayah pesisir menurut UU No.27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, antara lain:
a.    Memberikan HP-3 di wilayah Perairan Pesisir lintas provinsi dan Kawasan Strategis Nasional Tertentu
b.    HP-3 di Kawasan Strategis Nasional Tertentu
c.    Perubahan status Zona inti pada Kawasan Konservasi Perairan nasional
d.    Ijin pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil yang menimbulkan dampak besar terhadap perubahan lingkungan
e.    Perubahan status Zona inti pada Kawasan Konservasi Perairan nasional
f.     Melakukan pendampingan terhadap Pemerintah Daerah dalam merumuskan dan melaksanakan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
g.    Membentuk unit pelaksana teknis pengelola Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan kebutuhan
h.    Mengkoordinasi pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pada tingkat nasional
i.      Jenis kegiatan yang dikoordinasikan sebagaimana dimaksud diatas meliputi:
j.      Penilaian setiap usulan rencana kegiatan tiap-tiap sektor sesuai dengan perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu;
k.    Perencanaan sektor, daerah, dan dunia usaha yang bersifat lintas provinsi dan kawasan tertentu;
l.      Program akreditasi nasional;
m.   Rekomendasi izin kegiatan sesuai dengan kewenangan tiap-tiap instansi Pemerintah; serta
n.    Penyediaan data dan informasi bagi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang bersifat lintas provinsi dan Kawasan tertentu yang bertujuan strategis.
2.    Peran Pemerintah Propinsi
Kewenangan propinsi sebagai daerah otonom sesuai dalam Pasal 9 Ayat 1 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya. Kewenangan bidang tertentu adalah perencanaan dan pengendalian pembangunan secara makro, pelatihan bidang tertentu, alokasi sumber daya manusia potensial, penelitian yang mencakup wilayah Propinsi, pengelolaan pelabuhan regional, pengendalian lingkungan hidup, promosi dagang dan budaya/ pariwisata, penanganan penyakit menular dan hama tanaman dan perencanaan tata ruang Propinsi.
Kriteria kewenangan daerah Propinsi berdasarkan skala pelayanan, penyerasian, kepentingan letak geografis dan potensi pemanfaatan sumber daya air sebagai berikut :
a)            Skala Pelayanan Lintas Kabupaten/ Kota
Bila suatu tugas menyangkut penyediaan pelayanan umum, pengaturan dan pembangunan yang bersifat lintas Kabupaten, maka kewenangan-kewenangan untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang berkaitan dengan tugas tersebut dipertimbangkan untuk diletakkan pada daerah Propinsi sejauh mana tidak dapat diselenggarakan dengan cara kerjasama antar Kabupaten/ Kota.
b)            Penyerasian Kepentingan Antar Kabupaten/ Kota
Bilamana suatu tugas yang dilakukan oleh satu Kabupaten/ Kota tertentu dapat merugikan Kabupaten/ Kota lainnya, maka kewenangan untuk melaksanakan tugas tersebut diletakkan pada propinsi. Dalam merumuskan kewenangan pemerintah di samping berdasarkan kriteria sebagaimana telah dikemukan diatas juga dilakukan dengan pendekatan fungsi umum manajemen pemerintahan yang lazim telah digunakan diberbagai negara yang meliputi fungsi-fungsi kebijakan, perencanaan/ alokasi, pendanaan, penerimaan, perijinan, pengelolaan, pemerintahan, pemantauan/ pengawasan, dan kerjasama/ koordinasi
c)            Letak Geografis
Bilamana secara fisik suatu sistem berada dalam lebih dari 2 Kabupaten/ Kota, maka kewenangan untuk melaksanakan pengelolaan aset tersebut diletakkan pada Daerah Propinsi.
d)            Potensi pemanfaatan
Bilamana sumber daya air berpotensi dapat dimanfaatkan lebih dari 2 kabupaten/ kota, maka kewenangan untuk melaksanakan fungsi tersebut dapat diletakkan pada daerah propinsi.
Kewenangan gubernur dalam pengelolaan wilayah pesisir menurut UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, antara lain:
a.    Memberikan HP-3 di wilayah Perairan Pesisir sampai dengan 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan, dan Perairan Pesisir lintas kabupaten/kota.
b.    Mengkoordinasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pada tingkat provinsi
c.    Mengatur penilaian setiap usulan rencana kegiatan tiap-tiap Dinas otonom atau badan sesuai dengan perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu Provinsi;
d.    Mengatur perencanaan tiap-tiap instansi daerah, antar Kabupaten/kota, dan dunia usaha;
e.    Mengatur program akreditasi skala provinsi;
f.     Mengatur rekomendasi izin kegiatan sesuai dengan kewenangan instansi vertikal di daerah, dinas otonom, atau badan daerah;
g.    Mengatur penyediaan data dan informasi bagi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di provinsi
3.    Peran Pemerintah Kabupaten/ Kota
Berdasarkan ketentuan pasal 11 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang mencakup kewenangan pemerintah bidang layanan umum merupakan kewenangan yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten/ Kota Kewenangan yang wajib dilaksanakan berupa pengadaan sarana/prasarana umum yang menyangkut kepentingan masyarakat.
Pelaksanaan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh Kabupaten/ Kota, ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut (Pasal 4 PP RI No. 25 Tahun 2000) :
a.    Kabupaten/ Kota yang tidak atau belum mampu melaksanakan salah satu atau beberapa kewenangan dapat melaksanakan kewenangan tersebut melalui kerja sama antar Kabupaten/ Kota, kerja sama antar-Kabupaten/Kota dengan Propinsi, atau menyerahkan kewenangan tersebut kepada Propinsi;
b.    Pelaksanaan kewenangan melalui kerja sama atau penyerahan suatu kewenangan kepada Propinsi harus didasarkan pada Keputusan Kepala Daerah Kabupaten/ Kota dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/ Kota;
c.    Bupati/ Walikota wajib menyampaikan keputusan mengenai penyerahan kewenangan kepada Propinsi sebagaimana dimaksud pada huruf b kepada Gubernur dan Presiden dengan tembusan kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah; Presiden setelah memperoleh masukan dari Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dapat menyetujui atau tidak menyetujui penyerahan kewenangan tersebut;
d.    Dalam hal Presiden tidak memberikan persetujuannya, kewenangan tersebut harus dilaksanakan oleh Kabupaten/ Kota;
e.    Apabila Presiden memberikan persetujuannya, pelaksanaan kewenangan tersebut diserahkan kepada Propinsi;
f.     Apabila dalam jangka waktu satu bulan Presiden tidak memberikan tanggapan, maka penyerahan kewenangan tersebut dianggap disetujui;
g.    Sebagai akibat dari penyerahan tersebut, Propinsi sebagai Daerah Otonom harus melaksanakan kewenangan dimaksud dengan pembiayaan yang dialokasikan dari dana perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah;
h.    Apabila Propinsi tidak mampu melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam huruf h, maka Propinsi menyerahkannya kepada Pemerintah dengan mekanisme yang sama sebagaimana tercantum pada huruf c sampai dengan huruf h; dan
i.      Apabila Kabupaten/ Kota sudah menyatakan kemampuannya menangani kewenangan tersebut, Propinsi atau Pemerintah wajib mengembalikannya kepada Kabupaten/Kota tanpa persetujuan Presiden.
Kewenangan Bupati/ Walikota dalam pengelolaan wilayah pesisir menurut UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, antara lain:
a.    Memberikan HP-3 di wilayah Perairan Pesisir 1/3 (satu pertiga) dari wilayah kewenangan provinsi
b.    Mengatur penilaian setiap usulan rencana kegiatan tiap-tiap pemangku kepentingan sesuai dengan perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu;
c.    Mengatur perencanaan antar instansi, dunia usaha, dan masyarakat;
d.    Mengatur program akreditasi skala kabupaten/kota;
e.    Mengatur rekomendasi izin kegiatan sesuai dengan kewenangan tiap-tiap dinas otonom atau badan daerah; serta
f.     Mengatur penyediaan data dan informasi bagi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil skala kabupaten/ kota.
4.    Peran Masyarakat
Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar mangrove merupakan masalah prinsip dalam usaha menyelamatkan, mangrove (Sukardjo, 1989). Bengen (2001), menyebutkan pelestarian hutan bahwa mangrove merupakan suatu usaha yang sangat kompleks untuk di laksanakan, sifat karena kegiatan tersebut membutuhkan akomodatif terhadap segenap pihak terkait baik yang berada di sekitar kawasan maupun di luar kawasan. Pada dasarnya kegiatan ini dilakukan demi memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan. Akan tetapi, sifat akomodatif ini akan lebih dirasakan manfaatnya bilamana keberpihakan kepada institusi yang sangat rentan terhadap sumberdaya mangrove, dalam hal ini masyarakat diberikan porsi yang lebih besar.
Dalam upaya pemberdayaan Masyarakat, Pemerintah dan Pemerintah Daerah mewujudkan, menumbuhkan, dan meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab dalam (UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil):
a.    Pengambilan keputusan;
b.    Pelaksanaan pengelolaan;
c.    Kemitraan antara masyarakat, dunia usaha, dan Pemerintah/ Pemerintah Daerah;
d.    Pengembangan dan penerapan kebijakan nasional di bidang lingkungan hidup;
e.    Pengembangan dan penerapan upaya preventif dan proaktif untuk mencegah penurunan daya dukung dan daya tampung wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
f.     Pemanfaatan dan pengembangan teknologi yang ramah lingkungan;
g.    Penyediaan dan penyebarluasan informasi lingkungan; serta
h.    Pemberian penghargaan kepada orang yang berjasa di bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Bentuk organisasi pemberdayaan masyarakat pesisir yang dapat dikembangkan antara lain:
a.    PEMP (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir)
b.    COFISH (Coastal Fisheries)
c.    Program Mitra Bahari (Sea Grant Program)
d.    Siswasmas (Sistem Pengawasan Masyarakat)
Peran masyarakat dapat ditingkatkan melalui pemupukan jiwa bahari, pendidikan dan pelatihan kelautan dan organisasi dan kelembagaan kelautan.  Program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah adalah dalam bentuk penetapan rencana tindak antara lain:
a.    Identifikasi dan klasifikasi lembaga keswadayaan masyarakat
b.    Analisis jaringan kemitraan pemberdayaan antar lembaga keswadayaan masyarakat maupun dengan Pemerintah, swasta, perguruan tinggi dan lembaga keagamaan
c.    Analisis kebijakan dan atau peraturan daerah dalam kerangka demokratisasi pengelolaan pembangunan
d.    Penyusunan/ penyempurnaan kebijakan dan atau peraturan daerah dalam kerangka penguatan kemitraan, partisipasi, dan demokratisasi Manajemen Kawasan Pantai
e.    Pengadaan manual kemitraan dengan lembaga keswadayaan masyarakat dari daerah setempat maupun dari luar daerah atau luar negeri
f.     Penguatan kemitraan dengan lembaga keswadayaan masyarakat dalam Manajemen Kawasan Pantai
g.    Pembentukan/pengembangan Forum sebagai wahana/jaringan dialog/kemitraan antar berbagai komponen pelaku pembangunan.
Sumber:
Basuki. 2011. Modul Penyuluhan Kelautan dan Perikanan: Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Jakarta, Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan BPSDMKP.

Komentar